Senin, 02 Agustus 2021

Food Estate, Kebangkitan Program Zaman OrBa

 


Pengertian Food Estate

Secara harfiah Food Estate berarti perusahaan pekebunan/pertanian pangan. Food Estate mereupakan sebuah program jangka panjang pemerintahan Indonesia, yang berguna untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Sedangkan pengertian Food Estate berdasarkan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 pasal 1 ayat 10 merupakan usaha pangan skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan mengunakan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya agar dihasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi.

 Program Food Estate dirancang sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program ini mencakup berbagai komoditas mulai dari tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, hingga perikanan. Food Estate ini dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri bebasis IPTEK, modal, organisasi, serta manajemen modern. Konsep Food Estate didasarkan pada keterpaduan sektor dan sub sektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kuat. Food Estate diarahkan pada sistem agribisnis yang berbasis di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat lokal sebagai landasan dalam pengembangan wilayah.

Kunci utama keberhasilan Food Estate, terletak pada ketersediaan air dan teknologi pertaniannya. Untuk mewujudkan hal itu, perlu dipersiapkan infrastruktur dasar seperti waduk atau bendungan dan jaringan irigasi. Sinergi dibutuhkan untuk mengembangkan Food Estate yang modern dan terintegrasi dari hulu ke hilir. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan dapat dilakukan ekspor apabila memungkinkan. Dengan skala pertanian model Food Estate yang sangat besar dan luas, maka pengelolaannya juga dilakukan dengan manajemen modern atau korporasi. Dengan demikian diharapkan akan mendorong perusahaan-perusahaan besar di sektor industri pangan nasional maupun konglomerasi internasional untuk terjun ke dalam program Food Estate.

Pembangunan pangan yang melibatkan lahan dalam skala luas yang sama dengan Food Estate tidak hanya di Indonesia. Namun juga berkembang secara global paska krisis pangan pada tahun 2008. Pembangunan ini biasa dilaksanakan di negara-negara berkembang yang memiliki potensi lahan pertanian begitu besar. Namun, kebanyakan pelaku dalam pertanian skala besar adalah investor dari negara-negara yang terbatas sumber daya pertaniannya, maupun korporasi nasional yang bertujuan untuk mengamankan cadangan pangan. Pangan skala luas di Indonesia mulai saat Kabinet Indonesia Bersatu II merencanakan program 100 hari, antara lain peningkatan produksi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan sektor pertanian.

 

Latar belakang Food Estate (Waktu diberlakukan, Alasan serta urgensinya Food Estate)

Kebutuhan pangan telah meningkat seiring meningkatnya jumlah dan kualitas penduduk Indonesia, tetapi penyediaan lima komoditas pangan strategis yaitu padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi sebagian masih diperoleh dari luar negeri. Dengan pentingnya arti kemandirian pangan dan Indonesia sebagai negara agraris, Pemerintah berusaha membangun ketahanan pangan yang lebih mandiri dan berdaulat. Ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan telah dijelaskan pada UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Berbagai program swasembada dengan fokus pada peningkatan produktivitas telah dilaksanakan. Salah satu upaya  untuk perluasan lahan pangan adalah melalui pengembangan pangan skala luas (Food Estate).

Kebijakan FE dikeluarkan sebagai respon dari krisis pangan dunia dan untuk mengamankan kebutuhan pangan Indonesia dan jika melebihi kebutuhan akan diekspor ke negara lain. Pendekatan FE berdasarkan luas wilayah dibedakan menjadi 2 model yaitu:

  1. FE skala luas dengan kondisi infrastruktur yang sangat terbatas serta perlu pembangunan infrastruktur dasar yang memadai baik oleh pemerintah (pusat/daerah) maupun dukungan swasta seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE),
  2. FE skala medium dengan luasan sekitar 3.000–5.000 Ha, yang infrastrukturnya relatif sudah memadai. Contoh: Bulungan, Sambas, Kuburaya, Pontianak, Singkawang.

Untuk menjalankan kebijakan FE ini pemerintah akan bekerja sama dengan 14 perusahaan pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill, Kraft, Unilever, Swiss RA, Sygenta, ADM, Bunge, Mckenzie, Monsanto, Sinar Mas, dan Nestle. Dalam mengembangkan dan mengelola FE maka diperlukan dukungan dari berbagai aktor baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan swasta serta petani. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas pengelolaan lahan.

Program Food Estate sudah pernah dijalankan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai PLG. Sayangnya proyek tersebut dinilai gagal dan diberhentikan oleh Presiden Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengeolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah (Keppres 80/1999).

Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide untuk membangun Food Estate kembali muncul. Food Estate menjadi konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas (an integrated farming, plantation and livestock zone). Kebijakan ini dikeluarkan melalui Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009, kemudian dilanjutkan oleh PP No 18 Tahun 2010 tentang Food Estate atau pertanian tanaman pangan berskala luas. Uji coba pertama dilakukan pada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Berdasarkan rancangan besar oleh pemerintah saat itu, pembangunan ini menyasar untuk menghasikan produk pangan dan biofuel, baik untuk pasar domestik maupun internasional sebagai bentuk pembangunan ekonomi komprehensif. Pembangunan MIFEE mendapat kritik dari LSM, akademisi, dan institusi riset karena pemerintah dianggap mengabaikan eksternalitas negatif seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, konflik sosial, dan tekanan atas kehidupan masyarakat sekitar.

Selain MIFEE, pada tahun 2011 terdapat pula proyek Food Estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (sekarang Kalimantan Utara) sebagai salah satu program Pemerintah Pusat untuk mewujudkan ketahanan pangan yaitu Delta Kayan Food Estate (DeKaFE). Proyek ini mulanya direncanakan pada lahan seluas 50,000 hektare di mana 30,000 diantaranya merupakan tanah subur dengan tipe tanah alluvial.

Pada tanggal 9 Juli 2020, Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk memimpin pelaksanaan proyek Food Estate nasional di sejumlah kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah. Program Food Estate dapat menjadi salah satu cara guna meningkatkan ketahanan pangan. Dalam rencana awal pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah, pemerintah memilih lahan dengan tanah aluvial yang dulunya adalah lokasi program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di tepi Sungai Barito, di mana potensi pengembangan seluas 295.500 hektar. Peran proyek food estate menjadi krusial, apalagi, proyek Tujuan dibentuk Food Estate

Kebijakan Food Estate bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menghemat dan menghasilkan devisa negara, mempercepat pemerataan pembangunan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan perekonomian nasional. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mencapai ketahanan pangan dan menghindari terjadinya krisis pangan tapi disisi lain menimbulkan perdebatan di kalangan akademik dan praktisi, pemerintah baik pusat maupun daerah serta pengusaha mendukung kebijakan ini tapi disisi lain juga ditolak oleh beberapa elemen dikarenakan kebijakan ini berpihak pada pengusaha dan meminggirkan petani. Selain itu kebijakan FE merupakan kebijakan baru di Indonesia walaupun di dunia fenomena ini telah diterapkan lebih dari sepuluh tahun terakhir. Ahli yang membahas isu ini secara mendalam juga masih sedikit.

 

Peraturan yang mengatur kebijakan Food Estate

Food Estate adalah program yang dibuat oleh pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang memiliki dasar hukum dalam pelaksanaannya yaitu PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Untuk melaksanakan program food estate ini membutuhkan lahan pertanian dalam skala luas. Pengembangan Food Estate tidak melibatkan secara langsung masyarakat petani yang memiliki kompetensi yang cukup besar apabila dibudidayakan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu program food estate yang dijalankan berprinsip pada ketidak ikut sertaan petani secara luas namun melibatkan investor-investor besar yang menanamkan modalnya di bidang usaha budidaya tanaman atau di bidang pertanian.

Peraturan yang sudah ada dan mendukung adanya Food Estate

     Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 mengacu tentang Penyediaan Kawasan Hutan yang akan difungsikan untuk Pembangunan Food Estate. Peraturan Permen LHK 24/2020 ini mendukung dibukanya lahan kawasan Food Estate yang berwawasan lingkungan dimana dimaksudkan tetap memperhatikan kelestarian alam di sekitarnya. Diperjelas pada Peraturan Mentri No. 24 Pasal 2 Tahun 2020 bahwa Penyediaan Kawasan Hutan yang akan difungsikan untuk pembangunan Food Estate menerapkan mekanisme penetapan KHKP  yaitu Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan yang memanfaatkan Kawasan Hutan Lindung serta Kawasan Hutan Produksi yang sifatnya sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, terbuka, terdegradasi, dan sudah tidak ada tegakan hutan sehingga tidak memberikan dampak lingkungan yang begitu besar.

         Untuk pembagian hasil diatur berdasarkan PP 18/2010, Pasal 8 ayat (3) yaitu skala usaha food estate di Papua/Merauke maksimum 20.000 ha per investor. Kemudian bagi modal asing akan dibatasi kepemilikan modal maksimal hingga 49%. Peraturan ini bertujuan agar tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat sekitar lebih diutamakan terlebih dulu agar harapannya ini bisa menjadi investasi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat di sekitar Food Estate.

 

Food Estate dari segi lingkungan dan ekonomi

Menurut Sigit, guru besar teknik irigasi, lahan eks-PLG termasuk lahan sub optimal sehingga memiliki kualitas tanah yang kurang baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jenis tanah yang ada di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yaitu tanah mineral, hal ini dikarenakan terjadinya drainase secara besar-besaran yang merupakan salah satu lahan PLG pada masa pasca reformasi, sehingga mengakibatkan daerah tersebut mengalami kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan.

Permasalahan dari segi ekonomi dalam program Food Estate salah satunya adalah antara pemasukan dan pengeluaran yang tidak seimbang, sehingga menimbulkan banyak kerugian. Salah satu contoh pada bisnis padi yang cenderung rugi karena hasil panen sangat dipengaruhi iklim dan harganya sering menuju kurva penurunan. Mengamati dari pengalaman Indonesia dalam menangani Food Estate di Lampung dan Kalimantan Tengah pada masa pasca reformasi keduanya mengalami kegagalan. Padahal dalam pelaksanaan program Food Estate membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu perlu adanya penelitian dan strategi baru untuk mengatasi faktor kegagalan tersebut sehingga dapat menekan biaya dan angka kerugian dalam pelaksanaan program tersebut.

Permasalahan mengenai pembukaan lahan dan kebakaran hutan di lahan gambut.

Menurut kajian yang dilakukan Pantau Gambut pelaksanaan pogram Food Estate oleh pemerintah  melibatkan pembukaan lahan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) untuk dijadikan sawah cetak baru dapat mengakibatkan kebakaran berulang di lahan gambut tersebut. Sebagai contoh salah satunya terjadi pada tahun 2019 dengan luas lahan 167.000 hektar.

No

Daerah

Luas Lahan Gambut Terbakar

(Hektar)

1

Riau

40.553

2

Kalimantan Tengah

24.883

3

Kalimantan Barat

10.025

Sumber: BNPB 2019

Dari tabel di atas dapat diketahui daerah dengan luas kebakaran gambut selama September ber 2019 yang paling luas terjadi di Riau seluas 40.553 ha, Kalimantan Tengah seluas 24.883 ha, dan Kalimantan Barat seluas 10.025 ha. Selain ketiga daerah tersebut, karhutla (kebakaran hutan dan lahan) juga terjadi di beberapa daerah yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Aceh, Bangka Belitung, Papua, dan Maluku Utara .Total luas lahan yang mengalami kebakaran di Indonesia adalah 328.724 ha dengan perincian 27% lahan gambut dan sisanya tanah mineral.

Dampak dari adanya karhutla salah satunya adalah meningkatnya konsentrasi partikel udara di Riau dan Kalimantan yang disajikan dalam tabel di bawah ini :

No

Daerah

Konsentrasi Partikel Udara

(Mikrogram/m³)

1

Riau

478

2

Kalimantan

550

Sumber:BMKG 2019.

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa konsentrasi partikel udara di Riau sebesar 478 mikrogram/m³ dan di daerah Kalimantan lebih tepatnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sebesar 550 mikrogram/m³. Besarnya konsentrasi partikel udara di kedua daerah tersebut melebihi NAB sehingga akan sangat berbahaya bagi kesehatan terutama pada bagian pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen) LHK Nomor 24/ 2020 tentang diperbolehkannya penggunaan hutan lindung dalam rangka program Food Estate dan pemanfaatan kayu dari hutan lindung di nilai kurang efisien. Menurut Indonesian Center for Environmental (ICEL) peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang 41/1999 tentang kehutanan yang membatasi dalam pemanfaatan hutan lindung, yang apabila hendak menggunakannya haruslah hutan lindung yang sudah tidak berfungsi semestinya dan dalam kawasan hutan lindung yang boleh dimanfaatkan adalah hasilnya bukan kayunya. Pemanfaatan hutan lindung untuk program Food Estate berpotensi terjadinya deforestasi hutan yang dapat menimbulkan perubahan iklim yang akan berdampak di bidang pertanian seperti ketidakpastian musim sehingga hasil poduksi menurun.

Permen LHK Nomor 24/2020 juga menimbulkan ketidak pastian hukum karena penerapan instrument Kajian Lingkungan Hidup Strategi (KLHS) Cepat oleh pemerintah tidak disertai dengan penjelasan yang jelas. KLHS Cepat masih perlu dikaji lagi karena hanya menggunakan analisis kuantitatif para ahli. Selain itu, dengan merujuk  program Food Estate pada tahun-tahun sebelumnya, penerapan KLHS Cepat dinilai kurang efektif

Referensi

Astika, Puja. 2019. Implementasi Food Estate Dalam Meningkatkan Kesejahteraanekonomi Masyarakatdesa Kalampangan Kota Palangka Raya. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya.

 

Basundoro, Alfin Febrian., & Fadhil Haidar Sulaeman. 2020. Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional Pada Era Pandemi Covid-19. Jurnal Kajian Lemhannas RI: 8(2).

 

Eryan, Adrianus. 2020. Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Lindung. Seri Analisis Kebijakan Kehutanan dan Lahan. Indonesian Center For Environmental Law.

 

Nasrullah, Muhammad. 2016. Tinjauan Kritis Implementasi Food Estate Dalam Merauke Integrated Food Estate and Energi Estate (MIFEE). Skripsi.Univeresitas Jember.

 

Sagala, Mestika. 2018. Peralihan Hak Atas Tanah Petani Melalui Program Food Estate Dikaitkan Dengan Batas Tanah Maksimum Kepemilikan Tanah. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

 

Irianto, Sumarjo Gatot (Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian), Seminar Nasional “Food Estate di Indonesia : Mampukah Mewujudkan Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, Berkedaulatan, dan Berkeadilan?”, Kementrian Pertanian dan FEMA IPB, Bogor, 2010.

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 TENTANG PENYEDIAAN KAWASAN HUTAN UNTUK PEMBANGUNAN FOOD ESTATE

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman

Tim Pengembangan Food Estate. 2010. Buku Litbang Food Estate. Badan Litbang Pertanian.


Jumat, 25 Juni 2021

PRESS RELEASE DISKUSI PUBLIK: Mampukah Indonesia Meningkatkan Produktivitas Pangan di Masa Pandemi?

Bidang Keilmuan dan Kajian Isu BEM FP UPN “Veteran” Yogyakarta 2021

    Pada hari Minggu tanggal 20 Juni 2020, pukul 15.00 WIB, Divisi Keilmuan dan Kajian Isu Badan    Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta mengadakan Diskusi Publik Agrinews #1. Diskusi Publik tersebut mengangkat topik “Mampukah Indonesia Meningkatkan Produktivitas Pangan di Masa Pandemi?”. Moderator memberikan sepatah dua patah kata mengenai topik tersebut dan dilanjutkan oleh pemantik diskusi menyampaikan materi yang akan didiskusikan. Materi yang disampaikan oleh pemantik berupa pengertian pangan (pangan merupakan bentuk pemenuhan gizi dan nutrisi agar menciptakan SDM yang berkualitas), ketahanan pangan (kaitannya dengan pandemic Covid-19 dan permasalahan lahan), dan ketersediaan pangan; data BPS mengenai realisasi panen pada tahun 2019, 2020, dan 2021 (tahun 2019 ke 2020 mengalami penurunan dan tahun 2020 ke 2021 mengalami kenaikan); data Kementan mengenai produksi, konsumsi, dan surplus beras pada tahun 2020 (secara nasional, Indonesia surplus sebanyak 6,75. Surplus terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Akan tetapi di beberapa daerah terdiri defisit stok pangan , yaitu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Bali); dan PSBB di masa pandemi Covid-19 yang menghambat produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sehingga surplus stok pangan tidak bisa merata. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan produksi pangan di Indonesia agar tercipta ketahanan pangan nasional, hal yang perlu dicanangkan adalah memaksimalkan pengolahan lahan-lahan yang tersedia yang masih belum dimanfaatkan dengan baik agar dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mendukung kegiatan pertanian di Indonesia tanpa menimbulkan kerugian di pihak-pihak tertentu.

    Diskusi Publik Agrinews #1 kali ini menghasilkan poin-poin penting yang dapat digarisbawahi. Poin-poin penting tersebut mengenai permasalahan di dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia, diantaranya Food Estate, lahan gambut dan lahan pasir, pembukaan lahan rawa, data terbaru yang sulit diakses, permasalahan mafia yang sebenarnya juga dari kalangan petani itu sendiri, permasalahan pangan, dan permasalahan lainnya.

    Food Estate merupakan program yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam membangun pertanian di Indonesia pada tahun 2021. Program tersebut digerakkan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Program Food Estate tersebut menimbulkan perspektif positif dan negatif. Perspektif positif yaitu dari segi program Food Estate mempunyai tujuan yang bagus yaitu untuk memperluas lahan petani. Perspektif negatif nya adalah program Food Estate kurang tepat atau masih rancu dilaksanakan karena keterlibatan anggota TNI yang turun langsung ke lapangan. Dalam hal ini TNI dirasa menjadi eksekutor program ini dan program ini dianggap sia-sia. Hal ini kurang tepat karena anggota TNI belum atau bahkan tidak memeiliki keterampilan khusus di bidang pertanian. Seharusnyalah petani yang turun ke lapangan guna memberdayakan petani dalam program Food Estate ini. Program Food Estate harus mampu memberdayakan petani yang ada. Eksekutor dari program Food Estate ini sebaiknya adalah petani, baik petani konvensional maupun petani berkelanjutan. TNI boleh-boleh saja bergerak di bidang ini tetapi harus diberikan pelatihan khusus.

    Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan yang ada dengan cara menerapkan sistem budidaya yang cocok. Program Food Estate yang dicanangkan oleh pemerintah sudah diterapkan di Kalimantan Tengah. Pemanfaatan lahan untuk Food Estate menggunakan lahan gambut. Lahan gambut susah digunakan untuk program Food Estate, karena berisiko tinggi dan lahan gambut harus melalui tahapan pengeringan terlebih dahulu, dan pastinya membutuhkan banyak proses dan biaya dan tenaga. Lahan gambut juga mengandung karbon yang mudah menguap dan dapat menyebabkan kebakaran pada lahan tersebut. Food Estate pada lahan gambut dapat menimbulkan emisi karbon karena pembersihan lahan gambut. 

    Namun, lahan gambut tetap dapat dijadikan lahan pertanian jika digunakan sistem zona tata air yaitu di antara lahan satu dan lahan lainnya diberi aliran irigasi agar lahan tetap dalam keadaan lembab dan tidak akan terjadi kebakaran lahan tersebut. Pengelolaan lahan gambut telah dijalankan oleh pemerintah sejak masa Presiden Soeharto dengan program yang Bernama PLG. Namun program tersebut gagal pada saat dijalankan. Kegagalan tersebut dikarenakan masyarakat belum mampu mengelola lahan gambut dengan karakteristik gambut yang berbeda dengan tanah lainnya. Pengelolaan yang tidak tepat membuat gambut mengalami subsidensi karena dapat menjadikan lahan gambut kering. Dampak yang ditimbulkan yaitu global warming dan gambut menjadi non produktif 100%. Sebenarnya tanah gambut tidak boleh dikeringkan 100% dan harus selalu tergenang. Pengelolaan lahan gambut harus dijaga masalah hidrologinya.
    
    Untuk tetap mendukung pertanian di Indonesia, Indonesia adalah negara maritim yang sebagian besar daerahnya berupa pulau dan lautan. Selain itu juga terdapat banyak pantai di Indonesia sehingga lahan pesisir pantai di Indonesia sangat luas. Pemanfaatan lahan pesisir atau lahan pasir pantai juga dapat diterapkan untuk mendukung pertanian di Indonesia. Pertanian di lahan pasir banyak dipertanyakan karena pasir memiliki kemampuan daya mengikat air yang rendah sehingga kurang mendukung untuk penanaman tanaman. Terdapat solusi yang ditujukan untuk mengantisipasi lahan pasir yaitu dengan membuat lapisan kedap air di bawah lahan pasir pantai setebal 3 – 4 cm. Iklim di sekitar pantai juga disesuaikan dengan cara melakukan penanaman cemara udang untuk menyerap kandungan garam yang tinggi. Sebuah perusahaan juga sudah menerapkan teknologi untuk menangani masalah-masalah di pesisir pantai.

    Lahan rawa sudah dibuka di Kalimantan Selatan. Sebenarnya, lahan rawa telah dibuka sejak pemerintahan orde baru yang sudah mencapai 5 hektar dari 7 hektar lahan yang adaKebijakan pemerintah Bernama SERASI atau dengan kata lain “Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani”. Daalam penerapan kebijakan tersebut dibutuhkan TNI. Di Kalimantan Selatan juga sudah diterapkan mekanisasi pertanian untuk lahan rawa dengan cara pengolahan lahan dilakukan menggunakan traktor khusus yaitu traktor air yang berbentuk menyerupai kapal sehingga tepat digunakan untuk lahan rawa. 

    Program SERASI ini sudah dapat menghasilkan panenan 3 kali dalam setahun. Komoditas padi yang notabene membutuhkan masukan air yang cukup banyak tidak cocok jika ditanamn di lahan pasir pantai. Padi cocok jika ditanam di lahan rawa. 

    Pengaksesan sebuah data yang berhubungan dengan pertanian masih sulit untuk ditemukan. Hal ini dapat dikatakan bahwa data terbaru mengenai pertanian masih belum ada. Hal itu dapat terjadi karena dalam sistem pendataan, sumber daya manusia yang menjalankan belum memenuhi. Hal lain juga disebabkan karena data antara BPS dengan Kementan sering terjadi perbedaan data.
Pertanian di Indonesia dari proses produksi hingga konsumsi tidak luput dengan yang namanya mafia pertanian. Menurut KBBI, mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Di Indonesia, permasalahan kegagalan di bidang pertanian atau yang dapat dikatakan pertanian belum berhasil mewujudkan kedaulatan pangan; masyarakat banyak menyalahkan pemerintah dan jajarannya. 
    
    Hal itu karena, Sebagian besar masyarakat, dan tentunya mahasiswa, hanya melihat kelemahan dari program pemerintah dan lupa dengan mafia-mafia dibaliknya. Namun, sebenarnya, mafia-mafia tidak hanya pemerintah dan jajarannya, tetapi petani sendiri juga dapat menjadi mafia. Hal itu karena sikap petani yang ingin menang sendiri dan kebutuhan keluarganya tercukupi, tidak untuk orang lain. Pada kenyataannya, banyak petani punya serikat, punya gudang-gudang sendiri, dan menyimpan hasil pertaniannya di gudang tersebut untuk kemudia dijual dengan harga yang berbeda. Oleh karena itu, permasalahan mafia pertanian perlu diberantas. 
    
    Permasalahan pangan merupakan permasalahan yang sederhana. Tetapi cara pandang dan tindakan masing-masing elemen masyarakat yang membuat permasalahan pangan menjadi sebuah hal yang kompleks. Berbicara masalah kebutuhan manusia, kebutuhan manusia terbagi menjadi 3 macam, yaitu : (1) kebutuhan secara pertanian, (2) kebutuhan secara jasa, dan (3) kebutuhan secara industri. Dlam hal ini berbicara mengenai kebutuhan secara pertanian berupa pangan. Indonesia mampu mewujudkan ketahanan pangan apabila sistem yang digunakan itu berbeda dan lebih baik. 

    Permasalahan pangan ada salah satunya karena permasalahan pupuk. Indonesia masih kesulitan dalam subsidi pupuk. Hal itu dapat disimpulkan bahwa pemerintah tidak berhasil melaksanakan UU Pangan, pertanian tidak harus berbasis teknologi, pertanian masih menjadi second class, dan pertanian punya presentasi lebih untuk menunjang kebutuhan manusia termasuk ketahanan pangan.
Selain permasalahan yang sudah disebutkan di atas, ada permasalahan lain yang muncul pada saat menjalankan usaha untuk mencapai kedaulatan pangan. Pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada para petani hanya digembor-gemborkan di awal saja. Pemerintah tidak ikut mendampingi selama proses di lapangan hingga akhir. Dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya ikut mendampingi, melainkan hanya di awal-awal saja. Contohnya ada di Kopi Merapi. Pemerintah memberikan penyuluhan kepada petani lama. Untuk petani baru saat ini banyak yang tidak paham mengenai proses budidaya tanaman kopi.

    Permasalahan produktivitas pertanian harus diperbaiki. Intensifikasi pertanian lebih baik diupayakan dengan maksimal daripada ekstensifikasi pertanian yang menyebabkan ada elemen yang merasa dirugikan dan alam menjadi rusak. Intensifikasi pertanian bisa dilakukan dengan menggunakan lahan di pesisir pantai yang berpotensi dan belum terjamah. Oleh karena itu, kedaulatan pangan di Indonesia harus diupayakan dengan dukungan semua elemen masyarakat, secara khusus adalah mahasiswa pertanian di Indonesia. Hal itu karena sumber daya manusia merupakan sumber daya utama dalam keberlangsungan pertanian. Sarjana-sarjana pertanian harus bergerak di bidang pertanian untuk membantu mendampingi petani. Mahasiswa fakultas pertanian harus ikut mengambil peran untuk membantu mendampingi petani demi terciptanya ketahanan pangan. Peran petani penting di bidang pertanian. Namun, kurangnya wawasan atau pengetahuan petani terhadap produksi pertanian menyebabkan hasil produksi kurang maksimal. Oleh karena itu, petani punya hak dan kewajiban untuk diberikan penyuluhan agar dapat diterapkan sistem teknologi budidaya modern yang lebih efektif dan efisien dan kelak Indonesia dapat mengikuti pertanian 4.0 dengan menggunakan teknologi pertanian. 

    Teknologi di bidang pertanian berguna untuk mengurai susunan materi materi genetik tanaman agar maksimal. Teknologi di bidang pertanian bukan hanya tata cara budidaya, penanganan, perundang-undangan, melainkan teknologi untuk menunjang keterbukaan informasi karena keterbukaan informasi di bidang pertanian masih sangat minim. Sebagai mahasiswa pertanian yang memiliki ilmu pertanian harus bisa mem-back up penyuluhan dari pemerintah. Para mahasiswa jangan hanya mengandalkan teori pertanian saja, melainkan menggunakan ilmu pengetahuan yg dipunyai dan harus mulai diterapkan untuk lingkungan sekitarnya. Sebagai mahasiswa pertanian dapat berperan serta dalam mendidik atau menjadi pengawas dari regulasi pemerintah. 



Kamis, 17 Juni 2021

PANDEMI COVID 19 : "BANGKIT ATAU RUNTUHNYA PANGAN?"

Pangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan pangan, bahan pangan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, dan pembuatan makanan atau minuman[1]

Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2012 (pasal 1), disebutkan bahwa kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal. Pada Batang Tubuh muncul pada pasal 2, 3, 6, 23 (1), 117, 125, 126, dan 130 (1). Dari keseluruhan kalimat dalam UU ini, kata “Kedaulatan pangan” selalu muncul bersama-sama dengan “Ketahanan pangan” dan “Kemandirian pangan”. Ketiganya selalu muncul bersamaan. Hal ini bisa dimaknai bahwa kedaulatan pangan merupakan hal yang harus dicapai terlebih dahulu, sebagai jalan untuk mencapai tujuan akhirnya yakni “Ketahanan pangan”. 

Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut Andersen dalam Suryana (2003); Purwantini et al. (2005); dan Arifin (2007) konsep ketahanan pangan mengandung tiga dimensi yang saling terkait yaitu : (1) ketersediaan pangan; (2) aksesibilitas (keterjangkauan) masyarakat terhadap pangan; dan (3) stabilitas harga pangan[2]


Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kesediaan Pangan.

Pandemi Covid-19 jelas memengaruhi banyak hal salah satunya yaitu ketersediaan pangan di Indonesia. Meskipun produksi pangan meningkat selama masa pandemi, masalah ketersediaan pangan hingga fluktuasi harga bahan pokok terjadi di berbagai daerah, utamanya sebagai dampak dari penerapan kebijakan penanganan Covid-19 berupa physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan pemerintah berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek, mulai dari produksi, distribusi, serta konsumsi produk pangan. Harga kebutuhan pangan pun menjadi tidak menentu karena hal tersebut. Di samping itu, impor produk pertanian juga dinilai belum bisa menyokong pemenuhan kebutuhan dalam negeri,  karena perubahan kebijakan dari negara-negara eksportir yang berusaha untuk menyimpan hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri. Situasi ini, dapat memperburuk kedaulatan pangan di Indonesia jika pandemi Covid-19 terjadi berkepanjangan. 

Inspeksi mendadak ke gudang milik Bulog 19 Maret 2019 dilakukan Presiden RI Joko Widodo guna memastikan bahwa stok pangan cukup sehingga masyarakat tidak perlu panik di tengah pandemik virus Covid-19. Covid-19 telah mengubah kehidupan sehari-hari pada setiap sendi kehidupan dunia. Sistem pangan di Indonesia sejatinya sudah rusak jauh sebelum pandemi menyerang. Sistem yang dibuat haruslah mendukung keadilan pangan dengan memberikan hak kepadaian individu untuk menanam dan menjual.


Urgensi Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan di era pandemi Covid-19 harus dicapai karena kedaulatan pangan sangat penting bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedaulatan pangan memiliki beberapa urgensi antara lain persediaan pangan merupakan hal penting sebagai pemenuhan gizi dan nutrisi masyarakat Indonesia untuk membangun SDM yang sehat berkualitas. Apalagi di era pandemi seperti ini masyarakat harus mengonsumsi makanan bergizi dan sehat untuk meningkatkan imunintas tubuh agar terhindar dari infeksi Covid-19. Kedaulatan pangan juga penting untuk kedaulatan sebuah negara. Hal tersebut ditegaskan oleh presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno pada pidatonya yang mengatakan bahwa mati hidupnya suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan pangannya. Hal ini juga selaras bahwa pangan merupakan salah satu isu strategis di suatu negara yang mampu memengaruhi kestabilan ekonomi dan sosial karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat yang memiliki kecenderungan meningkat terus mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Maka dari itu, kedaulatan pangan di Indonesia harus dicapai dan dipertahankan demi terciptanya kestabilan ekonomi dan kedaulatan Negara Indonesia. Selain itu, komoditas pangan juga berperan sebagai penghasil devisa negara karena beberapa komoditas pangan menjadi komoditas ekspor. Contohnya komoditas pangan yang di ekspor adalak kopi, minyak kelapa, minyak kelapa sawit, kakao, rempah-rempah, dan lainlain. 

Kita membutuhkan sistem pangan yang melindungi hak asasi manusia, seperti akses mendapatkan makanan, perlakukan adil dan pengakuan bagi pekerja, serta menghormati batas-batas ekologi setempat hidup kita. Beberapa hal yang harus diubah dalam sistem pangan saat ini antara lain:

1. Makanan adalah kebutuhan bersama 

2. Siapapun memiliki peran

3. Keadilan pangan 

Data Produktivitas GKG (Gabah Kering Giling) di 3 Provinsi Penghasil Beras pada Tahun 2019

Data Produktivitas GKG (Gabah Kering Giling) di 3 Provinsi Penghasil Beras pada Tahun 2020

Sumber : Badan Pusat Statistik

Kebijakan untuk Meningkatkan Kedaulatan Pangan

Selama masa pandemi, sektor pertanian secara keseluruhan mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,75%. Pada produktivitas GKG dari tahun 2019-2020 mengalami peningkatan 0,08%. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan wilayah penghasil beras terbesar di Indonesia dengan kondisi lahan yang memang mendukung kegiatan pertanian. Lain halnya dengan wilayah Kalimantan Selatan yang dinilai kurang mendukung untuk kegiatan pertanian sebab masih banyak terdapat lahan gambut disana, memerlukan pengolahan lahan ekstra untuk mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian. Serta daerah Kalimantan Selatan mayoritas difokuskan untuk kegiatan pertambangan dibandingkan kegiatan pertanian.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kedaulatan pangan didaerah non pionir yaitu dengan membuka lahan produksi baru untuk pertanian khususnya untuk produksi komoditas padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Program Selamatkan Rawa Sejahterakan petani (Serasi) yang dilakukan oleh kementrian pertanian menyasar peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas Pertanaman padi di lahan rawa Kalimantan Selatan berjalan dengan sukses. Program Serasi akan menerapkan teknologi baru, meliputi proses pembibitan, perawatan, sampai masa panen yang diharapkan mampu untuk bersaing dengan negara lain. Saat ini pemerintah perlu memaksimalkan potensi dari 10 juta hektare lahan gambut untuk dijadikan lahan produktif yang dapat meningkatkan pendapatan para petani. 

Faktor penunjang seperti alat pertanian di Kalimantan Selatan dinilai masih kurang untuk memenuhi kebutuhan pertanian disana. Dengan luas lahan yang mencapai 584.174 hektar dengan jumlah traktor menurut data BPS Kalsel tahun 2019 hanya sebanyak 5.809 unit, membuat jumlah traktor tidak ideal dengan luas tanah. Dibandingkan dengan wilayah pionir produsen beras seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat, pemberian bantuan alat pertanian disana semakin dikencangkan, mulai dari pemberian bantuan pompa air hingga penyediaan bantuan alat pemanen. Perbaikan dan peningkatan teknologi budidaya tanaman perlu dilakukan karena berguna untuk meningkatkan produktivitas pertanian, efisiensi (waktu, tenaga, dan biaya), dan kesempatan kerja. 

Penyiapaan benih padi yang cocok untuk lahan rawa dan pasang surut yang sudah diteliti selama 2 tahun. Yang diberi nama benih infra 2 dan infra 3, benih ini mampu menghasilkan produksi 6 ton. Selain benih, hal lain yang tidak kalah penting yaitu pengadaan pupuk bersubsidi untuk petani di wilayah Kalimantan khususnya. Dengan adanya program subsidi pupuk akan membantu petani dalam menekan harga produksi. 

Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan subsidi pupuk juga terjadi di Kalimantan Selatan, para petani mengeluhkan kelangkaan pupuk bersubsidi. Dilansir dari data Pupuk Indonesia, subsidi pupuk di daerah Kalimantan Selatan tercatat alokasi yang terealisasikan sebesar 64% dari rencana 97%. Pada daerah Jawa Barat sendiri, tercatat alokasi yang terealisasikan sebesar 88% dari awal rencana sebesar 127%. Serta di Jawa Tengah, tercatat alokasi yang terealisasikan sebesar 73% dari rencana sebesar 110%[3] Pupuk bersubsidi di Jawa Tengah sendiri juga disokong dalam program bantuan Unit Pengolah Pupuk Organik.

Namun kebijakan pemberian subsidi pupuk kepada petani dengan anggaran 33 triliun dinilai tidak sesuai dengan hasil produksi dari petani. Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk perlu dievaluasi kembali. Menurut Harianto, pemerintah sebaiknya fokus melakukan perbaikan teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan akses pada benih unggul ketimbang mengalokasikan anggaran subsidi pupuk hingga Rp 33 triliun[4]. Akan tetapi kebijakan subsidi pupuk tidak dapat semerta-merta langsung dicabut, karena petani juga perlu beradaptasi dengan penyesuaian tersebut. 

Pandemi Covid-19 mendorong kita untuk semakin meningkatkan kedaulatan pangan, melihat bahwasannya bahan pangan merupakan pionir utama untuk keselamatan seluruh masyarakat Indonesia terutama dari krisis pangan dan kekurangan gizi. Pemaksimalan lahan-lahan di wilayah yang terbelakang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil produktivitas pangan terutama pada komoditas padi yang merupakan komoditas bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Selain itu, adanya pengembangan di bidang pertanian meliputi mekanisasi pertanian, pemerataan subsidi pupuk, dan penggunaan benih unggul juga diterapkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia. Beragam kebijakan perlu dirancang dengan penuh perhitungan, diterapkan secara maksimal dan mendapat pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyelewengan dalam proses perealisasiannya. Sudah saatnya pemerintah harus membuat pemerataan dan perkembangan pertanian diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia, guna meningkatkan produktivitas dalam negeri, mencapai kestabilan pangan, dan kedaulatan pangan dapat kita wujudkan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012.

[2] Retno Lantarsih, dkk. 2011. Sistem Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan Dan

Konsumsi Energi Serta Optimalisasi Distribusi Beras. Analisis Kebijakan Pertanian.

Volume 9 No. 1, Maret 2011 : 33-51

[3] https://www.pupuk-indonesia.com/id/penyaluran

[4] https://www.liputan6.com/bisnis/read/4455589/dikritik-jokowi-subsidi-pupuk-bisa-langsungdicabut

Kementrian Pertanian. 2015. Rencana Kerja Kementrian Pertanian 2016. Disampaikan pada PraMusrenbangtannas 2015. Jakarta, 12 Mei 2015. Kerr,R.B.2013. Seed Struggles and

Food.

https://www.bps.go.id/indicator/53/1498/1/luas-panen-produksi-dan-produktivitas-padi-menurutprovinsi.html

https://www.kompas.com/sains/read/2020/11/02/190300423/pandemi-ancam-krisis-ketahananpangan-apa-yang-harus-dilakukan-?page=all

https://www.kompas.com/sains/read/2020/11/02/190300423/pandemi-ancam-krisis-ketahananpangan-apa-yang-harus-dilakukan-?page=all

https://www.kompas.com/sains/read/2020/11/02/190300423/pandemi-ancam-krisis-ketahananpangan-apa-yang-harus-dilakukan-?page=all


Kamis, 10 Juni 2021

Lost Home - Tentang Rumah yang Tak Lagi Sama

PEMBAKARAN HUTAN

 

Hutan merupakan ekosistem bagi makhluk hidup yang mendiami kawasan hijau tersebut. Sayangnya, rumah ini dinodai oleh tindakan-tindakan yang dapat merusak hutan sebagai rumah bagi semua makhluk hidup tersebut. Satu di antaranya yakni pembakaran hutan. Di satu sisi, pembakaran tersebut memang digunakan untuk sebagai lahan pertanian baru bagi masyarakat. Tetapi, ada hal yang lebih penting diperhatikan yakni jika hal itu secara tidak langsung mempersempit ruang bagi makhluk yang mendiami kawasan tersebut. Terlebih, semakin berkurangnya makanan yang akan dikonsumsi oleh makhluk-makhluk yang mendiami area tersebut. Tak dapat dihindari, semakin masif hal itu dilakukan, tak menampik jika para makhluk yang mendiami kawasan hutan seperti hewan, mulai dari hewan berukuran kecil hingga besar dan buas akan mencari makan ke kawasan yang didiami oleh manusia. Salah satu hewan yang paling yang terdampak tentang perihal tindakan ini adalah Orang utan. Selain berdampak pada satwa yang mendiami hutan tersebut, pembakaran hutan juga berdampak terhadap lingkungan yaitu pemansan global yang tentunya berdampak negatif bagi alam maupun makhluk hidup di muka bumi ini.   



Populasi orang utan sedang menghadapi kepunahan hingga menyebabkan spesies ini dimasukkan ke dalam status Critically Endangered oleh International Union for Conservation of the NaturePenyebab terancamnya populasi orang utan yang paling utama adalah kerusakan habitatnya. Hal ini tidak terlepas dari manusia yang bertindak semaunya sendiri seperti pembukaan lahan untuk perkebunan, penebangan hutan, pembukaan lahan tambang dan kebakaran kawasan hutan. Kebakaran yang menghancurkan rumah orang utan tidak hanya membuat mereka kehilangan sumber makan akan tetapi merampas ruang hidup, mengubah kondisi biologis serta perilaku mereka. Hal ini didukung oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa kebakaran hutan ini mengakibatkan kerusakan metabolisme orang utan sehingga tubuh orang utan terjerumus ke dalam starvation mode atau bisa dikatakan orang utan mengalami stress dan merasakan kelaparan.


Kebakaran hutan tersebut selain mengakibatkan hilangnya habitat satwa, terutama orang utan juga menimbulkan dampak lain yang sangat merugikan masyarakat Indonesia dan penduduk dunia. Dampak yang dapat langsung dirasakan oleh penduduk akibat dari kebakaran hutan tersebut adalah polusi udara yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia, seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi mata dan kulit. Selain itu, kebakaran hutan juga dapat menimbulkan dampak sosial yaitu hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan masyarakat lokal (Kantor Meneg L.H., 1998). Sedangkan dampak ekonomi antara lain dibatalkannya jadwal transportasi darat-air dan udara, hilangnya tumbuh-tumbuhan terutama tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, menambah biaya pengobatan masyarakat, turunnya produksi industri dan perkantoran, serta penurunan bisnis pariwisata. Dampak lain dari kebakaran hutan yaitu tersebarnya asap dan emisi gas karbondioksida dan gas-gas lain ke udara yang akan berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata di seluruh dunia dan menimbulkan dampak berupa berubahnya pola iklim. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tingginya kadar CO2 di lapisan atmosfer yang dapat menghalangi pantulan panas dari bumi ke atmosfer sehingga permukaan bumi menjadi lebih panas (efek rumah kaca). Dampak dari pemanasan global itu sendiri adalah mencairnya es di Kutub yang dapat mengakibatkan kenaikan muka air laut, perubahan iklim regional dan global, serta perubahan siklus hidup flora dan fauna. Pencemaran udara yang disebabkan oleh adanya kebakaran hutan juga dapat memicu terjadinya hujan asam yang mampu mempengaruhi kualitas air permukaan, merusak tanaman, melarutkan logam-logam berat yang terdapat dalam tanah, dan bersifat korosif sehingga dapat merusak material dan bangunan. Selain memicu terjadinya hujan asam, kebakaran hutan mampu mengakibatkan penipisan lapisan ozon. Fungsi dari lapisan ozon sendiri adalah untuk melindungi bumi dari radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan sinar matahari dan berbahaya bagi kehidupan. Kebakaran hutan juga mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga tidak mampu lagi menampung cadangan air di saat musim hujan yang dapat menyebabkan tanah longsor ataupun banjir. 


Menurut Abdullah Sani, Polda Riau (2019) menyatakan bahwa PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) menjadi tersangka pembakaran hutan lahan gambut sebesar 155 hektare untuk penanaman bibit sawit. Polisi menduga bahwa perusahaan sengaja membakar lahan untuk memperluas perkebunan. Hal ini dibuktikan dengan penemuan tanaman sawit yang tidak tersusun rapi pada areal bekas pembakaran, di lokasi kebakaran juga ditemukan pos security yang menguatkan dugaan bahwa lahan sengaja dibakar, serta ditemukan bekas tebangan-tebangan hutan, bongkahan kayu yang berserakan. Atas perbuatannya, PT ini dijerat dengan pasal berlapis yaitu Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 98 ayat (1), ancaman penjara paliing singkat 3 tahun dan maksimal 10 tahun, dan pidana denda paling ringan Rp 3 miliar. Pasal 99 ayat (1), penjara paling singkat 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta dendan Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar. Sejumlah berkas dan surat izin turut disita polisi.


Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kebakaran hutan di Indonesia terutama di provinsi Sumatera dan Kalimantan secara illegal masih terus terjadi. Pemerintah tidak belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga membiarkan perusahaan dari bidang perkebunan untuk membuka lahan dengan cara yang salah. Kurangnya ketegasan dalam menentukan hukum yang berkaitan dengan pasal perusakan lingkungan mengakibatkan sebuah kefatalan. Padahal sudah diketahui bahwa dampak dari adanya pembakaran hutan ini sangatlah merugikan bagi makhluk hidup dan juga bagi lingkungan, bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga dunia, sehingga diharapkan bahwa kedepannya tidak ada lagi pembakaran hutan yang dilakukan secara ilegal. Apabila pemerintah memang serius menindak perusahaan pembakaran lahan, maka sebaiknya memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera seperti mempailitkan perusahaan terkait. Di Indonesia sendiri sudah terdapat peraturan yang menjelaskan dan mengatur mengenai pembakaran hutan yang tentunya harus dipatuhi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di pasal 38 dan pasal 45 sudah diatur bahwa: 

Pasal 38 

  1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. 
  2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
  3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui

pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

  1. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
  2. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.


Pasal 45

  1. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
  2. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. 
  3. Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
  4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Setelah mengetahui dampak-dampak negatif dari kebakaran hutan tersebut, seluruh lapisan masyarakat baik pemerintah, pihak perkebunan, ataupun penduduk sekitar seharusnya sadar bahwa hutan memiliki peran yang sangat penting bagi keberlangsungan makhlup hidup di dunia ini. Hutan adalah paru-paru dunia yang menghasilkan banyak oksigen sebagai gas yang dibutuhkan untuk bernapas makhluk hidup. Bayangkan jika luas hutan semakin menipis karena adanya pembakaran hutan yang sengaja dilakukan untuk pembukaan lahan, maka luas hutan akan semakin berkurang dan tentunya akan berdampak pada kehidupan makhluk hidup, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. 


Menyikapi hal tersebut, seluruh masyarakat harus sadar akan pentingnya hutan untuk kehidupan dan harus saling menjaga keutuhan wilayah hutan tersebut agar terbebas dari pembakaran hutan illegal yang tentunya sangat merugikan. Bukan dari warga ataupun pihak perkebunan saja, tetapi pemerintah juga harus tegas dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan di Indonesia.  Kita sebagai mahasiswa juga dapat memberikan campaign dan informasi di media sosial tentang pentingnya hutan, hal ini dikarenakan dengan media sosial, informasi yang kita berikan akan cepat menyebar terutama bagi generasi muda penerus bangsa yang akan merubah tatanan kehidupan negara. 


Pencegahan kebakaran hutan juga dapat dilakukkan dengan beberapa cara seperti pembuatan satuan petugas pemadam kebakaran, pembuatan sekat bakar kuning di sekitar areal rawan kebakaran, penyuluhan kebakaran hutan di setiap desa sekitar kawasan hutan, dan membuat peta lahan kritis kebakaran. Pada kegiatan pra kebakaran dapat dilakukkan beberapa kegiatan seperti pengadaan alat-alat pemadam kebakaran, pengecekan kelengkapan serta koordinasi petugas kebakaran. Saat kebakaran hutan, hal yang harus dilakukkan yaitu menghentikan penjalan kebakaran hutan dan memadamkan kebakaran hutan secara langsung. Sedangkan kegiatan pasca kebakaran hutan yang harus dilakukkan yaitu pengukuran langsung areal yang terbakar, menghitung kerugian atau dampak dari kejadian hutan, merumuskan kegiatan rehabilitasi serta koordinasi pengawasan areal yang terbakar serta melaporkan kejadian kepada Dinas Kehutanan. Dinas terkait juga harus melakukkan kegiatan preventif berupa patroli hutan, memasang papan-papan peringatan dan larangan melakukkan pembakaran hutan, mengadakan pendekatan kepada masyarakat melalui ramah tamah, serta pemadaman dini. 

 

Sumber :

http://www.bphn.go.id/data/documents/99uu041.pdf 

https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-pembakaran-lahan-bibit-sawit-hingga-pos-sekuriti-pt-sss-jadi-barang-bukti.html 

Irwandi;dkk. 2016. Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Samarinda. Universitas 17 Agustus 1945

Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaswara, 1(4): 47-59. 

Yurah, Amelia Monica. 2016. Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan di Indonesia Ditinjau Dari UU No. 32 Tahun 2009. Lex Privatum, IV(3): 107-114. 

Zulkifli;dkk. 2017. Studi Pengendalian Kebakaran Hutan di Wilayah Kelurahan Merdeka Kecamatan Samboja Kalimantan Timur. Samarinda. Universitas 17 Agustus 1945.

PRESS RELEASE INAUGURASI 2024

 Bidang Minat dan Bakat BEM FP 2024     Pada tanggal 21 Desember 2024 telah dilaksanakan acara Inaugurasi yang diselenggarakan oleh BEM Faku...