Petani Tragis di Negara Agraris


Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan seluruh masyarakat. Pembangunan pertanian telah berkontribusi untuk pembangunan ekonomi dan telah memastikan bahwa pembangunan akan benar-benar menyeluruh dan aktivitasnya akan mencakup sejumlah masyarakat yang mengandalkan hidup dari pertanian. Namun, hal ini tidak selaras dengan kebijakan pembangunan pertanian yang tidak mengedepankan petani di Indonesia, mengingat mayoritas petani bersifat subsisten. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.

Ancaman kebijakan pertanian yang tidak mengedepankan petani cukup nyata. Kebijakan dibuat mengabaikan petani yang menjadi tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia, para petani gurem atau skala kecil, dengan rata-rata luas usaha tani kurang dari 0,5 hektar, dan bahkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap. Bentuk ancaman tersebut dapat dilihat dari dihapusnya beberapa ketentuan yang selama ini mengutamakan petani Indonesia sebagai produsen utama pangan di Indonesia dan proteksi terhadap impor pangan yang merugikan petani.

Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menyampaikan UU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat pedesaan dan kaum buruh. Perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin menghimpit petani lokal. “Sebelum ada UU Cipta Kerja saja desa-desa ini sudah dihajar dengan investasi yang ugal-ugalan, sementara UU ini mencakup banyak sekali sendi di masyarakat,” ujarnya dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).

UU Nomor 6 Tahun 2023 pasal 30 ayat 1 berbunyi “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor Komoditas Pertanian dengan tetap melindungi kepentingan Petani”. Dilanjutkan penghapusan pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang berkaitan dengan sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi. Secara garis besar Pasal 30 dan penghapusan pasal 101 adalah “lepas tangan” atas kendali produksi pangan dari dalam negeri. Hal tersebut membuka lebar keran impor pangan sehingga petani dibiarkan bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan. Sementara itu, daya saing petani di Indonesia masih minim. Produk impor yang lebih baik dalam mensubsidi pertanian akan menggusur hasil panen petani dalam negeri.

Keadaan juga diperparah dengan kebijakan mengenai agraria. Pencabutan Perpres no 56 tahun 2017 menjadi Perpres no 62 tahun 2018 tampaknya tidak menjadi solusi atas konflik agraria. Ironisnya pembaruan regulasi malah menambah konflik agraria terus bermunculan. Laporan Tahunan Agraria KPA 2023 menunjukkan kenaikan laju letusan konflik agraria disertai kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat. 


Sumber : Laporan Tahunan Agraria KPA 2023

Sebanyak 241 letusan konflik, 346 desa terdampak, 638.188 ha luasan areal konflik, dan 135.608 KK korban terdampak. Lonjakan terjadi pada tahun 2023 menjadi 241 dari tahun sebelumnya 212 pada tahun 2022 dan 207 pada tahun 2021. Pengulangan setiap tahun konflik-konflik agraria pada sektor perkebunan, properti, pertambangan dan proyek infrastruktur menandakan tidak ada perubahan signifikan dari pemerintah dalam memperbaiki model dan pendekatan pembangunan di Indonesia. Kebijakan dan orientasi pengalokasian tanah serta kekayaan alam semakin didominasi oleh kepentingan investor dan badan-badan usaha skala besar.

Nasib tragis petani di negeri ini semestinya menjadi koreksi dan pembenahan dalam pemerintahan. Perumusan dan pengesahan kebijakan harus memperhatikan esensinya yaitu melindungi kepentingan dan kekayaan bangsa, mampu mengembangkan kekayaan dan kapasitas bangsa, dan mengatur agar kapasitas dan kekayaan bangsa dapat dimanfaatkan secara berkeadilan. Penegakan hukum yang tegas perlu dilakukan, bukan sekedar mementingkan golongan tertentu. Pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan rakyat harus menjadi fokus utama dalam pembangunan nasional.



Referensi

Aranditio, S. 2023. UU Cipta Kerja Sah, Masyarakat Desa dan Buruh Semakin Resah. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/24/uu-cipta-kerja-sah-masyarakat-desa-dan-buruh-semakin-resah


Laporan Tahunan Agraria KPA 2023


PERPRES No. 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.


Rustiandi Etnand, Eva A., Nunung N. 2020. Tanggapan IPB terhadap RUU Cipta Kerja Bidang Pertanian. Bogor. https://sustainability.ipb.ac.id/wp-content/uploads/2021/08/Tanggapan-IPB-terhadap-RUU-Cipta-Kerja-Bidang-Pertanian_Lengkap.pdf


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Pasal 101 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 pasal 30 ayat 1 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja


Wijaya Wahyu R. dan Salahudin. 2023. Pembangunan Pertanian: Sebuah Kajian Pustaka Terstruktur. Malang. Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal SEPA. Vol. 20(2): 147 – 161.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRESS RELEASE INAUGURASI 2024

PRESS RELEASE AGRICARE BATCH 2 2024

PRESS RELEASE STUDI BANDING & VISIT COMPANY 2024