Rabu, 06 Maret 2024

ESENSI LIBERALISASI PERTANIAN SEBAGAI JALAN TENGAH PEMERINTAH

Liberalisasi pertanian dapat memberikan peluang atau prospek sekaligus tantangan baru dalam pengembangan komoditas pertanian kedepan. Dikatakan memberikan peluang karena pasar komoditas tersebut aka luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara. Penyelesaian masalah ketahanan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian pada dasarnya tidak bisa secara sederhana diselesaikan dengan melakukan liberalisasi perdagangan terlebih lagi ketika mekanisme internasional lebih memihak kepentingan negara-negara maju dan meninggalkan negara-negara miskin dan berkembang. Masalah inilah yang terjadi di Indonesia dimana liberalisasi sektor pertanian ternyata justru menimbulkan ketergantungan pada impor produk pertanian, dan hal ini artinya menjauhkan Indonesia dari pencapaian ketahanan pangan. 


Liberalisasi sektor pertanian ini ternyata mengakibatkan peningkatan impor pangan yang signifikan. Ketergantungan terhadap impor pangan dan menurunnya konsumsi produk lokal, dan dihapuskannya subsidi untuk beberapa komoditas menyebabkan penurunan pendapatan petani dalam negeri yang berujung dengan aksi protes menentang liberalisasi perdagangan yang dilakukan pemerintah. Kondisi tersebut menegaskan bahwa secara empirik, perdagangan internasional di bawah payung perjanjian WTO telah merugikan banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Namun ironisnya pemerintah Indonesia tetap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan tersebut.

Peningkatan impor produk pertanian akan berdampak penurunan dan menempatkan Indonesia pada kondisi krisis pangan. Krisis ini berdampak luas terhadap sektor pertanian di Indonesia karena penurunan produk pertanian yang dianggap sensitif dan berhubungan langsung dengan ketahanan pangan, seperti beras, kedelai, dan gula.



Pada saat terjadinya krisis, Menurut data BPS Produksi padi di Indonesia sepanjang Januari−September 2023 diperkirakan sebesar 45,33 juta ton GKG atau mengalami penurunan sekitar 105,09 ribu ton GKG (0,23 persen) dibandingkan Januari−September 2022 yang sebesar 45,43 juta ton GKG. Sementara itu, berdasarkan pengamatan fase tumbuh padi hasil Survei KSA September 2023, potensi produksi padi sepanjang Oktober−Desember 2023 ialah sebesar 8,30 juta ton GKG. Situasi yang sama terjadi di produk pertanian yang lain, dan yang terparah adalah kedelai. Produk kedelai menurun terus menerus pada tahun 2021, proyeksi kedelai yang dihasilkan dari dalam negeri mencapai 613,3 ribu ton, turun 3,01% dari tahun lalu yang mencapai 632,3 ribu ton. Produksi kedelai kembali turun 3,05% menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai berkurang 3,09% menjadi 576,3 ribu ton. Penurunan suplai produk dalam negeri ini diimbangi dengan peningkatan impor bahan pangan. Impor beras, kedelai dan gula meningkat tajam untuk mengimbangi rendahnya produksi dalam negeri untuk produk-produk tersebut. Impor gandum yang dilakukan pun dilakukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam program ketahanan pangan dan sosial.




Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor beras ke Indonesia mencapai 1,59 juta ton selama periode Januari−Agustus 2023. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa beras impor dari Kamboja akan segera masuk ke Indonesia sebanyak 250 ribu ton. Beras tersebut akan digunakan sebagai stok cadangan beras pemerintah (CBP). Sebagai catatan, pemerintah menetapkan kuota impor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Bulog, sebagai pelaksana impor, telah mendatangkan 1,6 juta ton beras dari berbagai negara di Asia. Alasan penambahan impor beras itu untuk mengisi ulang stok beras yang ada di gudang Perum Bulog. Di mana, di saat bersamaan, pemerintah tengah menjalankan sejumlah program penyaluran bantuan beras dan operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).

Meskipun tujuan kebijakan impor adalah mengimbangi penurunan produksi dalam negeri, kebijakan pemerintah ini menjadi isu kontroversial. Beberapa pendapat menjelaskan bahwa sebelum subsidi dihapuskan, pemerintah Indonesia seharusnya mengamankan sistem pembebasan pangan yang efektif agar bisa mengamankan produk-produk pangan yang tidak aman atau terancam. Ketika subsidi pupuk dihapuskan, reaksi negatif berupa protes-protes dari masyarakat petani bermunculan, karena meskipun ketersediaan pupuk di pasar cukup banyak, harga yang terlalu tinggi tidak bisa dicapai oleh para petani.

Penurunan kesejahteraan masyarakat petani serupa dengan masalah yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia, liberalisasi perdagangan dalam kerangka WTO berdampak negatif tidak hanya pada produksi pertanian domestik, harga dan lapangan pekerjaan, tetapi juga pendapatan petani. Sejak liberalisasi terjadi, petani Indonesia, termasuk petani unggas, beras dan jagung, dipengaruhi oleh impor produk-produk pertanian yang harganya murah. Kondisi terparah dialami petani-petani kecil yang memiliki lahan kurang dari setengah hektar. Berkurangnya pendapatan petani ini diperparah lagi dengan hilangnya insentif-insentif, terutama subsidi pupuk dan bibit tanaman dari pemerintah untuk berproduksi, dan para petani kecil dipaksa untuk menghadapi pasar global yang kompetitif

Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta Presiden Jokowi kepada Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, untuk lebih bersikap hati-hati dalam menyikapi kebijakan pangan kawasan yang mengusung liberalisasi pertanian. Liberalisasi perdagangan produk pertanian itu bertabrakan konsep kedaulatan pangan, karena kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.

Saat ini isu liberalisasi perdagangan khususnya komoditas pertanian terus menjadi perdebatan dan semakin jauh dari tercapainya kesepakatan dalam sistem perdagangan multilateral. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian (kerangka multilateral/WTO) akan mempengaruhi pola perdagangan komoditas pertanian di berbagai kawasan. Sementara itu, melambatnya laju pertumbuhan produksi pertanian atau bahkan penurunan produksi pertanian akan berdampak pada menurunnya kerjasama perdagangan ke semua negara dapat menyebabkan liberalisasi pertanian nasional dan hanya akan memperluas pengaruh negara-negara maju mengakses pasar domestik semua anggota WTO, termasuk Indonesia. Sebab kebijakan tersebut hanya untuk mempermudah barang-barang dari negara maju masuk ke negara-negara berkembang. Sehingga berdampak pada membanjirnya produk impor dan menyebabkan produksi dalam negeri melemah. Keadaan tersebut, kontradiktif dengan Undang Undang (UU) Perlindungan Pemberdayaan Petani, Pasal 15 ayat (1) Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kemudian ayat (2) UU Perlindungan Pemberdayaan Petani tersebut menyatakan, kewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sedangkan dalam UU Pangan, Pasal 36 ayat (1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Liberalisasi pertanian memang telah membawa hasil terhadap peningkatan produksi beras nasional, namun hal itu tidak berdampak pada kesejahteraan petani. Idealnya, ketika industri pertanian bertujuan meningkatkan produksi, maka petani juga harus menjadi bagian dari tujuan tersebut, menjadi objek yang harus ditingkatkan produktivitasnya. Nilai tukar hasil pertanian masih lebih rendah dari barang non pertanian, sehingga dengan hasil pertanian, petani tidak mampu untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka sendiri, artinya petani merugi oleh usahanya sendiri. Hal tersebut relevan dengan efek negatif globalisasi yang menyebabkan eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi pekerja anak, menimbulkan kesenjangan, orang kaya semakin kaya dan orang miskin menjadi semakin miskin. Selain itu, posisi petani semakin terpuruk ketika pembangunan tidak menjadikan pertanian sebagai prioritas, sehingga kontribusi pertanian masih sangat rendah.


sumber ;


https://www.cnbcindonesia.com/news/20231010115705-4-479366/alasan-di-balik-tambah-impor-beras-15-juta-ton-terungkap#:~:text=Dia%20memaparkan%2C%20alasan%20penambahan%20impor,dan%20Harga%20Pangan%20(SPHP).


Yuniarti. 2015. Liberalisasi Sektor Pertanian di Indonesia Dalam Kerangka WTO. Jurnal Transnasional, Vol. 6, No. 2: 1647-1661.


https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/10/16/2037/luas-panen-dan-produksi-padi-di-indonesia-2023--angka-sementara-.html


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/18/impor-beras-ri-tembus-159-juta-ton-hingga-agustus-2023-mayoritas-dari-thailand


Lubis A. dan Reni K. Arianti. 2011. Dampak Liberalisasi WTO Terhadap Ketahanan Pangan Beras dan Gula. Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2:148-163.


https://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/42177


Suja’ie A. dan Nian Riawati. 2019. Liberalisasi Pertanian Versus Kesejahteraan Petani: Upaya Mencari Jalan Tengah. Jurnal Pamator Volume 12 No. 2, Hlm. 133-139



Petani Tragis di Negara Agraris


Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan seluruh masyarakat. Pembangunan pertanian telah berkontribusi untuk pembangunan ekonomi dan telah memastikan bahwa pembangunan akan benar-benar menyeluruh dan aktivitasnya akan mencakup sejumlah masyarakat yang mengandalkan hidup dari pertanian. Namun, hal ini tidak selaras dengan kebijakan pembangunan pertanian yang tidak mengedepankan petani di Indonesia, mengingat mayoritas petani bersifat subsisten. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.

Ancaman kebijakan pertanian yang tidak mengedepankan petani cukup nyata. Kebijakan dibuat mengabaikan petani yang menjadi tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia, para petani gurem atau skala kecil, dengan rata-rata luas usaha tani kurang dari 0,5 hektar, dan bahkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap. Bentuk ancaman tersebut dapat dilihat dari dihapusnya beberapa ketentuan yang selama ini mengutamakan petani Indonesia sebagai produsen utama pangan di Indonesia dan proteksi terhadap impor pangan yang merugikan petani.

Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menyampaikan UU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat pedesaan dan kaum buruh. Perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin menghimpit petani lokal. “Sebelum ada UU Cipta Kerja saja desa-desa ini sudah dihajar dengan investasi yang ugal-ugalan, sementara UU ini mencakup banyak sekali sendi di masyarakat,” ujarnya dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).

UU Nomor 6 Tahun 2023 pasal 30 ayat 1 berbunyi “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor Komoditas Pertanian dengan tetap melindungi kepentingan Petani”. Dilanjutkan penghapusan pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang berkaitan dengan sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi. Secara garis besar Pasal 30 dan penghapusan pasal 101 adalah “lepas tangan” atas kendali produksi pangan dari dalam negeri. Hal tersebut membuka lebar keran impor pangan sehingga petani dibiarkan bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan. Sementara itu, daya saing petani di Indonesia masih minim. Produk impor yang lebih baik dalam mensubsidi pertanian akan menggusur hasil panen petani dalam negeri.

Keadaan juga diperparah dengan kebijakan mengenai agraria. Pencabutan Perpres no 56 tahun 2017 menjadi Perpres no 62 tahun 2018 tampaknya tidak menjadi solusi atas konflik agraria. Ironisnya pembaruan regulasi malah menambah konflik agraria terus bermunculan. Laporan Tahunan Agraria KPA 2023 menunjukkan kenaikan laju letusan konflik agraria disertai kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat. 


Sumber : Laporan Tahunan Agraria KPA 2023

Sebanyak 241 letusan konflik, 346 desa terdampak, 638.188 ha luasan areal konflik, dan 135.608 KK korban terdampak. Lonjakan terjadi pada tahun 2023 menjadi 241 dari tahun sebelumnya 212 pada tahun 2022 dan 207 pada tahun 2021. Pengulangan setiap tahun konflik-konflik agraria pada sektor perkebunan, properti, pertambangan dan proyek infrastruktur menandakan tidak ada perubahan signifikan dari pemerintah dalam memperbaiki model dan pendekatan pembangunan di Indonesia. Kebijakan dan orientasi pengalokasian tanah serta kekayaan alam semakin didominasi oleh kepentingan investor dan badan-badan usaha skala besar.

Nasib tragis petani di negeri ini semestinya menjadi koreksi dan pembenahan dalam pemerintahan. Perumusan dan pengesahan kebijakan harus memperhatikan esensinya yaitu melindungi kepentingan dan kekayaan bangsa, mampu mengembangkan kekayaan dan kapasitas bangsa, dan mengatur agar kapasitas dan kekayaan bangsa dapat dimanfaatkan secara berkeadilan. Penegakan hukum yang tegas perlu dilakukan, bukan sekedar mementingkan golongan tertentu. Pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan rakyat harus menjadi fokus utama dalam pembangunan nasional.



Referensi

Aranditio, S. 2023. UU Cipta Kerja Sah, Masyarakat Desa dan Buruh Semakin Resah. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/24/uu-cipta-kerja-sah-masyarakat-desa-dan-buruh-semakin-resah


Laporan Tahunan Agraria KPA 2023


PERPRES No. 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.


Rustiandi Etnand, Eva A., Nunung N. 2020. Tanggapan IPB terhadap RUU Cipta Kerja Bidang Pertanian. Bogor. https://sustainability.ipb.ac.id/wp-content/uploads/2021/08/Tanggapan-IPB-terhadap-RUU-Cipta-Kerja-Bidang-Pertanian_Lengkap.pdf


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Pasal 101 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 pasal 30 ayat 1 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja


Wijaya Wahyu R. dan Salahudin. 2023. Pembangunan Pertanian: Sebuah Kajian Pustaka Terstruktur. Malang. Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal SEPA. Vol. 20(2): 147 – 161.











PRESS RELEASE INAUGURASI 2024

 Bidang Minat dan Bakat BEM FP 2024     Pada tanggal 21 Desember 2024 telah dilaksanakan acara Inaugurasi yang diselenggarakan oleh BEM Faku...